Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Krisis Literasi di Bali: Ratusan Siswa SMP Tidak Bisa Baca Tulis, Cermin Darurat Pendidikan Akar Rumput

Foto: SS youtube CNN Indonesia
Krisis Literasi di Bali: Ratusan Siswa SMP Tidak Bisa Baca Tulis, Cermin Darurat Pendidikan Akar Rumput

Dunia pendidikan Indonesia kembali dikejutkan oleh fakta yang mencemaskan. Di Kabupaten Buleleng, Bali, ratusan siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) dilaporkan tidak bisa membaca dan menulis dengan lancar. Sebuah kenyataan yang menyentak nurani kita bersama, terutama ketika kita menyadari bahwa ini bukan sekadar kasus tunggal atau insidental, melainkan fenomena yang berakar dari persoalan sistemik dalam dunia pendidikan, khususnya pada pendidikan dasar. Sebagaimana dikutip dari ChanYouTube CNN Indonesia pada Kamis, 17 April 2025, berikut ini adalah kabar selengkapnya.nel 

Data yang Mengguncang: 400 Siswa SMP Terkendala Literasi Dasar

Data dari Dewan Pendidikan Kabupaten Buleleng menunjukkan bahwa sekitar 400 siswa SMP dari 60 sekolah di wilayah tersebut mengalami kesulitan membaca dan menulis. Bahkan, sebanyak 115 siswa dilaporkan sama sekali tidak bisa membaca, sementara sisanya belum lancar membaca meskipun sudah duduk di bangku SMP.

Ironisnya, temuan ini mencuat bukan karena laporan internal dinas, tetapi berkat perhatian dan dorongan dari aktivis pendidikan dan pemerhati literasi akar rumput. Hal ini mengindikasikan adanya kecenderungan pembiaran atau setidaknya kurangnya kepekaan terhadap masalah fundamental dalam pendidikan.

Mengapa Bisa Terjadi? Perspektif dari Dosen Undiksha, I Wayan Artika

Dalam sebuah wawancara mendalam, dosen Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha), I Wayan Artika, memberikan pandangan kritisnya terkait fenomena ini. Menurutnya, salah satu akar masalahnya adalah orientasi pendidikan yang lebih fokus pada konten pelajaran daripada pada penguasaan kemampuan dasar seperti membaca dan menulis.

“Membaca dan menulis adalah infrastruktur belajar. Jika kemampuan dasar ini dilewati atau diabaikan, maka pelajaran lain menjadi mustahil untuk dicerna oleh siswa,” ujar Pak Wayan.

Ia juga menyoroti adanya pembiaran kolektif dalam sistem pendidikan, mulai dari guru, sekolah, hingga kebijakan yang berlaku. Guru cenderung ‘memaksa’ siswa mengikuti materi pelajaran, tanpa memastikan apakah siswa sudah mampu memahami dasar-dasarnya.

Kurikulum Merdeka dan Tantangan Implementasinya di Akar Rumput

Kurikulum Merdeka yang digadang-gadang sebagai solusi untuk pembelajaran yang lebih fleksibel ternyata juga menyisakan masalah, terutama dalam konteks pelaksanaan di sekolah-sekolah akar rumput.

Ketua Dewan Pendidikan Buleleng, I Made Sedan, menilai bahwa Kurikulum Merdeka tidak memberikan fokus yang cukup terhadap pembelajaran literasi dasar. Hal ini, menurut Pak Wayan, menjadi celah yang menyebabkan banyak siswa akhirnya tertinggal, bahkan dalam kemampuan membaca dan menulis.

“Kita sering berpikir global soal kurikulum, tetapi lupa bahwa pelaksanaannya harus disesuaikan dengan kondisi lokal dan kebutuhan riil siswa di lapangan,” tambahnya.

Kasus, Bukan Gejala Massal, Namun Perlu Perhatian Serius

Pak Wayan menegaskan bahwa kasus ini bukan untuk digeneralisasi sebagai penurunan kualitas pendidikan secara keseluruhan, namun tetap harus ditanggapi serius. Sebab, membaca dan menulis sejatinya merupakan kemampuan yang akan tumbuh alami jika perkembangan anak berjalan normal. Oleh karena itu, perlu dilacak apa yang menyebabkan anak-anak tersebut sampai tidak bisa baca tulis, bahkan di usia remaja.

“Ini bukan semata-mata masalah kemampuan, tapi menyangkut pertumbuhan dan lingkungan anak. Bisa jadi, ada kebutuhan khusus atau trauma tertentu yang belum teridentifikasi,” katanya.

Peran Guru dan Masalah Administratif

Guru, sebagai ujung tombak pendidikan, menghadapi tantangan besar. Tidak hanya dituntut untuk mengajar dan mendidik, mereka juga dibebani dengan berbagai laporan administratif melalui aplikasi-aplikasi digital. Kondisi ini membuat fokus mereka pada proses pembelajaran menjadi terganggu.

Pak Wayan mengakui bahwa banyak guru yang hebat dan berdedikasi, namun jumlahnya belum mencukupi untuk membawa perubahan menyeluruh. Ia juga menyinggung bahwa uji kompetensi guru yang hasilnya masih di bawah rata-rata nasional menjadi sinyal perlunya peningkatan kualitas dan pembinaan guru secara masif.

Keluarga Bukan Satu-Satunya Faktor

Dalam banyak kasus, masyarakat kerap menyalahkan orang tua atau keluarga atas lemahnya kemampuan literasi anak. Namun, menurut Pak Wayan, tidak selamanya demikian.

“Kita tidak bisa menyalahkan keluarga begitu saja. Harus ada pendekatan holistik, datangi rumahnya, pahami latar belakangnya, baru kita bisa merumuskan solusi yang tepat,” jelasnya.

Solusi: Pendekatan Humanis dan Pendampingan Nyata

Solusi yang ditawarkan Pak Wayan adalah pendekatan humanis dan diferensiatif dalam pendidikan, di mana siswa yang belum bisa baca tulis harus diperlakukan secara khusus dan penuh empati. Mereka membutuhkan lebih dari sekadar jam pelajaran di sekolah. Mereka membutuhkan pendampingan intensif, relawan, dan waktu yang lebih lama untuk mengembangkan kemampuan literasi dasarnya.

“Kita perlu guru-guru yang punya kesadaran hati, bukan hanya sekadar menyelesaikan tugas administratif atau mengejar target kurikulum. Yang kita hadapi adalah jiwa yang sedang tumbuh, bukan sekadar objek belajar,” tegasnya.

Fenomena Kursus Membaca dan Komersialisasi Literasi

Tren kursus membaca untuk anak usia dini juga menjadi sorotan. Banyak lembaga komersial yang menjanjikan anak cepat bisa membaca hanya dalam hitungan minggu. Namun, menurut Pak Wayan, kemampuan membaca tidak semata-mata bergantung pada metode kursus, melainkan juga pada pertumbuhan alami dan stimulasi dari lingkungan sekitar.

Ironisnya, anak-anak dari keluarga mampu yang sudah bisa membaca sejak usia dini justru mendapat perhatian lebih, sementara mereka yang tertinggal tidak mendapatkan intervensi yang memadai dari sekolah maupun negara.

Penutup: Saatnya Kita Menyadari Bahwa Literasi Bukan Sekadar Tugas Sekolah

Fenomena siswa SMP tidak bisa membaca dan menulis bukan hanya masalah pendidikan, tetapi juga masalah nurani dan kemanusiaan. Ini menjadi pengingat bahwa pendidikan sejatinya tidak boleh kehilangan ruhnya: membentuk manusia yang berdaya, bukan sekadar ‘naik kelas’.

Kita butuh guru yang sadar akan perannya sebagai pembentuk jiwa, bukan hanya pengisi kognisi. Kita butuh sistem yang mendukung, bukan membebani. Kita butuh pendekatan yang menyentuh hati, bukan hanya sekadar mengikuti prosedur.

Karena pada akhirnya, pendidikan yang baik adalah pendidikan yang menjangkau semua anak—tanpa kecuali.

Posting Komentar untuk "Krisis Literasi di Bali: Ratusan Siswa SMP Tidak Bisa Baca Tulis, Cermin Darurat Pendidikan Akar Rumput"