Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kisah Air Kendi Man Idris

Air Kendi (source :membacadanberbagi.blogspot.com)
Bila di Madinah kitapernah mendengar kisah dimana pada suatu masa penduduk kota dilanda kekeringan yang hebat. Hanya ada satu sumur milik seorang Yahudi, melalui sumur ini penduduk Madinah antri membeli air untuk keperluan sehari-hari. Bahkan Nabi Muhammad SAW menawarkan hadiah sebuah mata air kelak di surga. 
Karna sang Yahudi tidak bergeming, lantas Sayyidina Utsman bin Affan ra, datang dengan kemampuan negosiasinya, singkat cerita sumur itu terbeli dan diwakafkan untuk seluruh penduduk Madinah, termasuk didalamnya si pemilik lama sumur, seorang Yahudi itu. 
Dan hingga kini, hasil dari wakaf sayyidina Utsman bin Affan ra. masih dapat dirasakan masyarakat Madinah. Wakaf itu dikelola sedemikian baiknya hingga mendatangkan manfaat. Selain sumurnya dirawat dengan baik, hingga hasil pengembangan harta wakaf telah terkumpul hingga dapat didirikan sebuah hotel bintang 5 di dekat Masjid Nabawi. Subhanallah.

Berikut kisah seorang alim dari desa santri, Kajen, Kecamatan Margoyoso, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Kisah ini memiliki kemiripan dengan apa yang dilakukan oleh Sayyidina Utsman bin Affan ra. dengan mewakafkan sumur yang telah dibebaskannya dari seorang Yahudi.

 Man Idris, begitu para santri dan warga desa Kajen memanggilnya. Seorang hafizul Qur’an yang dikenal sangat santun, sangkin santunnya pada sesama, Mand Idris sering turun dari sepeda onthelnya dan memberi salam pada seorangyang dijumpainya. Nama aslinya Idris, tambahan kata man didepannya menandakan dirinya berasal dari desa Kajen yang memang lazim menyematkan istilah itu kepada orang-orang tertentu yang dianggap memiliki keistimewaan.

Selain dikenal akan kesantunannya, Man Idris juga dikenal sebagai dermawan. Dirinya disebut dermawan bukan karna banyak harta dan sering membagikannya, tapi karna kebiasaannya menyediakan air minum untuk semua orang yang melintas di depan rumah sederhana milik Man Idris.

“Gratis, Halal Tanpa Izin”, demikian Man Idris menyelipkan tulisan di sebuah kursi tua, tempat kendi itu berada. Puluhan tahun Man Idris merawat kebiasaan mulianya itu. Para santri dan warga tidak pernah tahu kapan Man Idris mengisi air kedalam kendi itu. Hampir setiap saat kendi itu senantiasa terisi air bersih, sejuk dan terasa segar di tenggorokan para penikmatnya.

Suatu ketika, pemuda bernama Hamid, santri asal Kudus hendak minum air kendi Man Idris. Saat kendi itu diangkat Hamid, dirinya sedikit kaget karna terasa ringan, menandakan air di dalamnya telah habis. Hamid pun berkata pada temannya, “banyune entek” (airnya habis). Mendengar percakapan itu, Man Idris bergegas keluar rumah dan buru-buru minta maaf pada Hamid dan temannya. Lantas Man Idris mengambil kendi itu dan mengisi air, Hamid pun melangkah kembali pesantren dengan tenggorokan yang segar.

Rumah Man Idris berada di pinggir jalan dan dikelilingi empat pesantren. 100 meter dari rumahnya berdiri lembaga Pendidikan Yayasan Salafiyah Kajen yang memiliki ribuan murid dari jenjang diniyah hingga Madrasah Aliyah. Bayangkan, berapa ribu santri yang telah merasakan air kendi Man Idris. Man Idris tidak pernah menunggui kendinya, ini tidak lain adalah untuk menjaga keikhlasannya, dan sekali lagi Man Idris pun menulis “halal tanpa izin”.

Kini, Man Idris telah tiada, wafat sekitar tahun 2010. Ribuan santri yang merasakan air “zam-zam”nya telah mentas dari pesantren dan mengabdi di berbagai lini kehidupan masyarakat.

Beberapa kyai terkenal merupakan santri yang dulu menikmati “seger”nya air Man Idris. Sebut saja, Kyai Listiantoro Magelang dan Kyai Murtaldo Jepara. Selain itu juga ada pula yang menjabar Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Komisi I, H. Saiful Bahri Anshori, ddan tentunya masih banyak para absi masyarakat yang ilmunya bermanfaat di masyarakat.

Kisah lain dari Man Idris yang bisa kita jadi tauladan adalah sikap istiqomahnya. Selama puluhan tahun Man Idris dikenal sebagai bilal di masjid bersejarah di Desa Kajen, masjid ini konon pertama kali dibangun oleh KH. Syeikh Ahmad Mutamakkin, ulama besar yang turut menyebarkan Islam di masa silam.

Adzan Ashar dan Subuh adalah jadwal Man Idris suaranya menggema ke seluruh penjuru desa Kajen. Tidak melengking seperti Adzan di Masjid Agung atau masjid Raya, suara Man Idris bisa dibilang sederhana namun memiliki ciri khas, suaranyamerdu dan menggetarkan kata para santri. Jika suatu saat suara panggilan untuk shalat ashar dan subuh itu berganti, bisa dipastikan Man Idris sedang sakit, begitulah Man Idris, hanya sakit yang menghalangi tugasnya menjadi penyeru shalat.

Kisah lain lagi dari keunikan Man Idris adalah dalam menyimak ratusan santri dalam belajar al-Qur’an. Setiap hari, kecuali malam jum’at, ratusan santri dari berbagai pesantren datang belajar. Tidak dibedakan baik yang masih dasar maupun tinggal melancarkan. Dengan menggunakan lidi, kadang bekas antena radio, Man Idris dapat menyimak empat orang sekaligus, kadang lebih. Bisa dibayangkan bagaimana sulitnya. Namun, dengan kelebihan yang dimiliki, Man Idris dapat mengetahui secara detail kesalahan setiap santri dalam membaca al-Qur’an.

Kembali soal air kendi, sungguh luar biasa, memang terkesan sederhana, kebiasaan Man Idris bersedekah air putih menggunakan kendi telah menjadikan banyak santri terbebas dari rasa haus. Ini pula yang menjadikan dirinya terus menjadi manusia rendah diri namun semua orang justru hormat. Bersedekah, berinfak, berwakaf tak melulu harus sesuatu yang bernilai tinggi, tak perlu wujudnya mewah. Man Idris seolah mengajarkan kepada kita sedekah apa saja yang utama adalah ikhlas dan istiqomah.

“al-‘ilmu bila ‘amalin kasyajari bila tsamarin”; ilmu yang tidak diamalkan seperti pohon kayu yang tidak berbuah. Man Idris telah wafat, namun ilmunya kini mengalir keribuan santri “kalongnya”, seorang Man Idris terus memanen buahnya di surga kelak.

Kisah air kendi, menjadi bilal dan guru ngaji sangat sulit kita temukan saat ini. Man Idris tak pernah meminta upah dari para santri, keikhlasan sungguh tidak diragukan lagi. Semoga kisah ini dapat kita tiru dan masih ada Man Idris lainnya. Amin.

Posting Komentar untuk "Kisah Air Kendi Man Idris"