Risalah Idul Fitri: Definisi, Hukum, Adab dan Hal-hal yang berkaitan dengan Sholat Id
Idul Fitri atau yang juga dikenal dengan sebutan Lebaran, adalah hari raya besar umat Islam yang dirayakan setiap tahun pada tanggal 1 Syawal. Hari raya ini memiliki makna yang sangat penting bagi umat Islam, sebagai momen kemenangan setelah menjalani ibadah puasa selama sebulan penuh di bulan Ramadan. Merayakan Idul Fitri juga memiliki beragam tradisi yang kaya dan unik, terutama di Indonesia.
Selain itu, Idul Fitri juga memiliki makna yang mendalam bagi umat Islam. Hari
raya ini menjadi momen untuk merefleksikan diri, memperkuat silaturahmi, dan
memperbaiki hubungan dengan sesama. Selain itu, Idul Fitri juga menjadi
momentum untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT. Sehingga,
merayakan Idul Fitri tidak hanya sekedar tradisi, tetapi juga merupakan bentuk
syukur dan ibadah kepada Allah SWT.
Lebih jelasnya berikut pembahasan singkat tentang idul fitri, dapat disimak
pada uraian berikut ini.
1. Definisi
Setelah ummat Islam melaksanakan suatu ibadah yang agung yaitu puasa di bulan
Ramadhan selama satu bulan lamanya, maka tibalah saatnya bagi umat Islam
menyambut kedatangan hari raya yang dinanti-nantikan yaitu ‘Idul Fithri.
‘Id secara bahasa artinya setiap hari yang di dalamnya ada perkumpulan, berasal
dari kata (‘Aada-Ya’udu) artinya kembali, karena seakan-akan mereka kembali
kepadanya. Ibnul ‘Arabi mengatakan: “‘Id dinamakan nama tersebut karena setiap
tahun ia selalu kembali dengan kegembiraan yang baru.” (Lisanul Arab III/319)
2. Waktu 'Id
Waktu ‘Id telah tiba apabila hilal (awal bulan) telah disaksikan oleh dua orang
yang terpercaya. Rasulullah SAW bersabda:
صُومُوا
لِرُؤْيَتِهِ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ
“Berpuasalah ketika melihat hilal (awal bulan) dan berbukalah (berhari raya)
ketika melihatnya.” ( HR. Al-Bukhari II/33 no: 1909 dan Muslim II/762 no: 1081)
3. Takbiran
1. Waktu Takbiran “Berpuasalah ketika melihat hilal (awal bulan) dan berbukalah
(berhari raya) ketika melihatnya.” ( HR. Al-Bukhari II/33 no: 1909 dan Muslim
II/762 no: 1081)
2. Mengeraskan suara pada saat takbiran namun sendiri-sendiri sebagaimana yang
telah dicontohkan oleh para salaf dan tidak dengan secara berjamaah dengan
dipandu oleh seorang pemimpin. (Fatawa Lajnah Daimah VIII/310 no: 8340 dan
Majmu’ Fatawa wa Rasail Syaikh Al-Utsaimin XVI/268 no: 1388)
3. Dianjurkan untuk memperbanyak takbir sesudah membaca dzikir-dzikir setelah
shalat. Termasuk juga setelah shalat lima waktu, namun tetap dengan
sendiri-sendiri (tidak dipandu), sebagaimana hadits yang diriwayatkan
Al-Bukhari I/508 no: 1659 dan Muslim II/933 no: 1285 dari sahabat Anas bin
Malik, ketika para sahabat berhaji bersama Rasulullah, di antara mereka ada
yang membaca takbir, ada juga yang membaca bacaan-bacaan lain. (Majmu’ Fatawa
wa Rasail Syaikh Al-Utsaimin XVI/260 no: 1381)
Dan diriwayatkan bahwa:
وَكَانَ
ابْنُ عُمَرَ يُكَبِّرُ بِمِنًى تِلْكَ الأَيَّامَ وَخَلْفَ الصَّلَوَاتِ، وَعَلَى
فِرَاشِهِ وَفِى فُسْطَاطِهِ، وَمَجْلِسِهِ وَمَمْشَاهُ تِلْكَ الأَيَّامَ
جَمِيعًا
“Ibnu ‘Umar pernah bertakbir di Mina pada hari-hari itu (Tasyriq) setelah
shalat (lima waktu), di tempat tidurnya, di kemah, di majelis dan di tempat
berjalannya pada hari-hari itu seluruhnya.” (HR. Al-Bukhari I/307 no: 969)
4. Lafazh Takbiran Mengenai masalah ini tidak ada hadits marfu' yang shahih
menerangkan tentang lafazh takbiran, akan tetapi yang ada hanyalah lafazh yang
diriwayatkan dari sebagian shahabat. Di antara lafadz yang dicontohkan antara
lain:
a. Dari sahabat Ibnu Mas’ud:
اللَّهُ
أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ،
اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَهِ الحَمْدُ
(HR. Ibnu Abi Syaibah I/490 no: 5653. Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa’ Al-Ghalil
III/125 mengatakan: sanadnya shahih, akan tetapi disebutkan dalam tempat yang
lain dengan sanad yang seperti itu dengan tiga kali takbir)
Atau bisa juga dengan lafadz takbir tiga kali (Majmu’ Fatawa wa Rasail Syaikh
Al-Utsaimin XVI/259 no:1379), yaitu:
اللَّهُ
أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ
وَاللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَهِ الحَمْدُ
b. Dari sahabat Ibnu Abbas:
للَّهُ
أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ اللَّهُ أَكْبَرُ
وَأَجَلُّ اللَّهُ أَكْبَرُ عَلَى مَا هَدَانَا
(HR. Al-Baihaqi III/441 no: 6280. Syaikh Al-Albani mengatakan dalam Al-Irwa’
Al-Ghalil III/126 mengatakan: sanadnya shahih)
c. Dari sahabat Salman Al-Farisi:
للاللَّهُ
أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا
Ibnu Hajar mengatakan: “Adapun lafadz takbir yang paling shahih adalah
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abdurrazaq dengan sanad yang shahih dari
Salman, mereka bertakbir: Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Kabiira.”
(Fathul Bari II/536)
Banyak kaum Muslimin yang menyelisihi dzikir yang diriwayatkan dari shahabat
ini dengan dzikir-dzikir dan tambahan-tambahan yang dibuat-buat tanpa ada asalnya.
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Pada masa ini telah diada-adakan tambahan dalam
dzikir itu yang tidak memiliki asal (dalil).” (Fathul Bari II/536)
4. Adab-Adab Sebelum Sholat Id
1. Mandi sebelum shalat ‘Id, sebagaimana yang dilakukan oleh Ibnu ‘Umar. Nafi’
menceritakan: “Dahulu, pada ‘Idul Fithri, Ibnu ‘Umar mandi sebelum berangkat ke
tanah lapang.” (HR. Malik II/248 no: 609)
2. Berhias serta berpakaian yang terindah dan yang terbaik. (HR. Al-Bukhari
I/301, no: 948). Ibnul Qayyim berkata: “Dahulu, ketika keluar pada shalat dua
hari raya, Nabi SAW mengenakan pakaian yang terindah.” (Zaadul Ma’ad I/425)
3. Makan pagi sebelum berangkat shalat ‘Idul Fithri, sebaiknya dengan kurma
dengan jumlah yang ganjil. Anas berkata: “Rasulullah r tidak
keluar pada pagi hari ‘Idul Fithri sehingga beliau memakan beberapa biji kurma
dan beliau memakannya dalam jumlah yang ganjil.” (HR. Al-Bukhari I/302 no: 953)
4. Datang ke tempat shalat dengan berjalan kaki, kecuali jika ada udzur seperti
sakit atau jauh jaraknya. Ibnu ‘Umar berkata: “Rasulullah r biasa ke
luar ke tempat sholat ‘Id dengan berjalan kaki dan pulang juga berjalan kaki.”
(HR. Ibnu Majah no: 1310. Syaikh Al-Albani mengatakan dalam Shahih Sunan Ibnu
Majah I/388: hasan)
5. Bertakbir ketika keluar hendak shalat ‘Id. Dalam suatu riwayat: “Nabi r biasa
keluar hendak shalat pada hari raya ‘Idul Fithri, lantas beliau bertakbir
sampai di lapangan dan sampai shalat hendak dilaksanakan. Ketika shalat hendak
dilaksanakan, beliau berhenti dari bertakbir.” (As-Silsilah Ash-Shahihah I/329
no: 171)
6. Menempuh jalan yang berbeda pada saat berangkat dan pulang. Jabir berkata:
“Dahulu Nabi r ketika hari ‘Id beliau membedakan jalan.” (HR. Al-Bukhari I/311 no:
986)
7. Membawa serta anak-anak dan kaum wanita. Dalil membawa kaum wanita adalah
hadits dari Ummu ‘Athiyah, beliau berkata: “Nabi r
memerintahkan kepada kami pada saat shalat ‘Id agar mengeluarkan para gadis dan
wanita yang dipingit, begitu pula wanita yang sedang haidh. Namun beliau
memerintahkan pada wanita yang sedang haidh untuk menjauhi tempat shalat.” (HR.
Muslim II/605, no: 890). Sedangkan dalil membawa anak-anak adalah dari Ibnu
‘Abbas, yang ketika itu masih kecil, pernah ditanya: “Apakah engkau pernah
menghadiri shalat ‘Id bersama Nabi r?” Ia menjawab:
“Iya, aku menghadirinya. Seandainya bukan karena kedudukanku yang termasuk
sahabat-sahabat junior, tentu aku tidak akan menghadirinya.” (HR. Al-Bukhari
I/308 no: 977)
5. Hukum Sholat Id
Mengenai hukum shalat ‘Id para ‘ulama berbeda pendapat, terbagi menjadi tiga
pendapat. Ada yang mengatakan sunnah, fardu kifayah dan fardu ‘ain. Namun
pendapat yang lebih benar adalah bahwa shalat ‘Id hukumnya adalah fardu ‘ain
(wajib bagi setiap individu). Dan inilah pendapat yang dipilih oleh Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah (Majmu’ Fatawa wa Rasail Syaikh Al-Utsaimin XVI/213
no:1327)
Di antara dalil yang menunjukkan tentang wajibnya shalat ‘Id adalah hadits Abu
Hurairah bahwa Rasulullah r telah bersabda: َ
دِ
اجْتَمَعَ فِى يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنَ الْجُمُعَةِ
“Telah berkumpul bagi kalian pada hari ini dua hari raya. Barangsiapa yang
ingin (melaksanakan shalat ‘Id) maka ia telah mencukupi dari shalat Jum’at….”
(HR. Abu Daud no: 1073. Syaikh Al-Albani mengatakan dalam Shahih Sunan Abu Daud
I/296: shahih)
Dalil ini menunjukkan bahwa shalat ‘Id dapat menggugurkan kewajiban shalat
Jum’at apabila bertepatan waktunya (yakni hari ‘Id jatuh pada hari Jum’at).
Sesuatu yang tidak wajib tidak mungkin dapat menggugurkan sesuatu yang wajib.
Adapun dalil yang lain adalah hadits Ummu ‘Athiyah:
كُنَّا
نُؤْمَرُ أَنْ نَخْرُجَ يَوْمَ الْعِيدِ، حَتَّى نُخْرِجَ الْبِكْرَ مِنْ
خِدْرِهَا، حَتَّى نُخْرِجَ الْحُيَّضَ فَيَكُنَّ خَلْفَ النَّاسِ
“Dahulu kami diperintahkan untuk keluar (shalat ‘Id) pada hari raya hingga
gadis-gadis pingitan keluar dari kamarnya bahkan mereka yang tengah haid dan
mereka berada di belakang orang-orang.” (HR. Al-Bukhari I/307 no: 971)
6. Hal-Hal yang Berkaitan dengan Sholat Id
1. Dimulai saat terbitnya matahari ± setinggi tombak, disunnahkan mengerjakan
shalat ‘Idul Adha pada awal waktu dan melambatkannya pada shalat ‘Idul Fithri
dan akhir waktu shalat pada saat tergelincirnya matahari. (Al-Mughni III/266)
2. Shalat dilaksanakan di tanah lapang bukan di masjid, sebagaimana yang
dilakukan oleh Rasulullah r kecuali jika ada udzur. Dari Abu Sa’id Al Khudri mengatakan:
“Rasulullah r biasa keluar pada hari raya ‘Idul Fithri dan ‘Idul ‘Adha menuju tanah
lapang.” (HR. Al-Bukhari I/303 no: 956 dan Muslim II/605 no: 889)
3. Tidak ada shalat sebelum dan sesudah shalat ‘Id. Dari Ibnu ‘Abbas, ia
berkata: “Rasulullah r pernah keluar pada hari Idul ‘Adha atau ‘Idul Fithri, lalu beliau
mengerjakan shalat ‘Id dua raka’at, namun beliau tidak mengerjakan shalat
qabliyah maupun ba’diyah ‘Id.” (HR. Al-Bukhari I/305 no: 964)
4. Membawa tombak atau semacamnya untuk ditancapkan di depan tempat Imam
sebagai sutrah (pembatas). Dari Ibnu ‘Umar ia berkata: “Rasulullah r bila keluar
ke tanah lapang untuk mengerjakan shalat ‘Id, beliau memerintahkan pelayannya
untuk membawa tombak lalu ditancapkan di hadapan beliau. Kemudian beliau shalat
menghadapnya sementara manusia menjadi makmum di belakang beliau.” (HR.
Al-Bukhari I/174 no: 494)
5. Shalat ‘Id dilakukan sebelum khutbah. Dari Ibnu ‘Umar ia berkata: “Nabi r dan Abu
Bakar, begitu pula ‘Umar biasa melaksanakan shalat ‘Id sebelum khutbah.” (HR.
Al-Bukhari I/305 no: 963 dan Muslim II/605 no: 888)
6. Shalat ‘Id tanpa didahului adzan dan iqamat. Dari Jabir bin Samurah, ia
berkata: “Aku pernah melaksanakan shalat ‘Id (‘Idul Fithri dan ‘Idul ‘Adha)
bersama Rasulullah r bukan hanya sekali atau dua kali, ketika itu tidak ada adzan maupun
iqamah.” (HR. Muslim II/604 no: 887)
7. Shalat ‘Id dua raka’at. ‘Umar bin Khattab, ia berkata: “Shalat Jumat dua
raka’at, shalat ‘Idul Fithri dua raka’at, shalat ‘Idul ‘Adha dua raka’at.” (HR.
An-Nasaa’i no: 1419. Syaikh Al-Albani mengatakan dalam Shahih Sunan An-Nasa’i
I/457: shahih)
8. Mengangkat tangan setiap takbir sebagaimana yang dikerjakan oleh Ibnu ‘Umar.
Ibnul Qayyim mengatakan: “Ibnu ‘Umar yang dikenal sangat meneladani Nabi r biasa
mengangkat tangannya dalam setiap takbir.” (Zaadul Ma’ad I/427)
9. Membaca do’a iftitah setelah takbiratul ikhram, sebelum takbir 7 X. (Zaadul
Ma’ad I/427 dan Majmu’ Fatawa wa Rasail Syaikh Al-Utsaimin XVI/240 no: 1355)
10. Jumlah takbir pada raka’at pertama 7 X (selain takbiratul ihram) dan pada
raka’at kedua 5 X (selain takbir ketika bangkit dari sujud) dan takbir
dilakukan sebelum membaca Al-Fatihah. Dari ‘Aisyah, ia berkata: “Sesungguhnya
Rasulullah r bertakbir dalam shalat ‘Idul Fithri dan ‘Idul ‘Adha, pada rakaat
pertama sebanyak tujuh kali dan rakaat kedua lima kali, selain dua takbir
ruku.” (HR. Abu Daud no: 1149,1150. Syaikh Al-Albani mengatakan dalam Shahih
Sunan Abu Daud I/315: shahih)
11. Belum didapatkan hadits shahih marfu’ yang menerangkan bacaan Rasulullah r di antara
takbir, namun Ibnu Mas’ud berkata:
بَيْنَ
كُلِّ تَكْبِيرَتَيْنِ حَمْدًا لِلَّهِ عَزﱠ وَجَلﱠ وَثَنَاءً عَلَى الله
“Di antara tiap dua takbir diucapkan pujian dan sanjungan kepada Allah SWT.”
(HR. Al-Baihaqi III/410 no: 6186. Syaikh Al-Albani mengatakan dalam Al-Irwa’
Al-Ghalil III/115: sanadnya jayyid)
12. Disunnahkan membaca surah Al-A’laa pada raka’at pertama dan surah
Al-Ghasyiyah pada raka’at kedua atau surah Qaaf pada raka’at pertama dan surah
Al-Qamar. Dari An Nu’man bin Basyir, ia berkata: “Rasulullah r biasa
membaca dalam shalat ‘Id maupun shalat Jum’at “Sabbihisma rabbikal a’laa” (QS.
Al-A’laa) dan “Hal ataaka haditsul ghaasyiyah (QS. Al-Ghasyiyah).” (HR. Muslim
II/598 no: 878)
13. Dibolehkan mengerjakan shalat ‘Id pada hari kedua jika luput (ada udzur)
pada hari pertama. Dari Abu Umair bin Anas, dari paman-pamannya yang termasuk
sahabat Nabi r: “Mereka bersaksi bahwa mereka melihat hilal (bulan tanggal satu)
kemarin, maka Nabi r memerintahkan mereka untuk berbuka dan pergi ke mushalla (tanah
lapang) mereka keesokan paginya.” (HR. Abu Daud no: 1157. Syaikh Al-Albani
mengatakan dalam Shahih Sunan Abu Daud I/317: shahih)
14. Jika tidak sempat shalat jama’ah bersama Imam, boleh mengerjakannya sendiri
di rumah dua raka’at. Imam Al-Bukhari berkata: “Apabila seseorang luput dari
shalat ‘Id hendaklah ia shalat dua raka'at.” (Fathul Bari II/550)
7. Ucapan Selama pada Hari Id
“Di antara tiap dua takbir diucapkan pujian dan sanjungan kepada Allah SWT.”
(HR. Al-Baihaqi III/410 no: 6186. Syaikh Al-Albani mengatakan dalam Al-Irwa’
Al-Ghalil III/115: sanadnya jayyid) َ
قَبَّلَ
اللَّهُ مِنَّا وَمِنْك
“Taqabbalallahu minna wa minka (Semoga Allah menerima dari kami dan darimu).”
(Fathul Bari II/517)
Shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada junjungan kita
Rasulullah r, keluarga, dan sahabat-sahabat beliau.
Posting Komentar untuk "Risalah Idul Fitri: Definisi, Hukum, Adab dan Hal-hal yang berkaitan dengan Sholat Id"
Posting Komentar